
Ada yang sudah tahu makanan bernama Selat Solo? Kalau melihat penampilannya memang tampak seperti sajian steak, makanan ala Eropa, pada umumnya. Tapi, kalau dicicipi pasti akan terasa kaget, karena terdapat kuah yang rasanya manis namun tetap bisa nge-blend dengan sajian sayur serta daging dan telur.
Saya mengenal makanan ini justru terbilang baru. Sekitar tahun 2007 atau 2008 sewaktu tante dari pihak keluarga pak Suami yang datang berlibur ke Bekasi. Beliau menyajikan Selat Solo yang dimasak sendiri.
Perasaan waktu pertama kali memakannya? Happy pastinya, soalnya saya suka sekali dengan sayur. Apalagi, ada tambahan kentang goreng setengah kering yang menemani sayur serta daging dan telur.
Sejarah Kehadiran Makanan Selat Solo
Makanan ini pertama kali hadir di wilayah kratonan Surakarta pada masa pendudukan Belanda. Berdasarkan karya tulis dari Universitas Negeri Yogyakarta, kata Selat sendiri berasal dari bahasa Belanda slachtje yang artinya irisan daging kecil.
Karena lidah masyarakat Indonesia tidak terbiasa menyebut kata slachtje ini, akhirnya mereka menyebutnya dengan kata yang lebih mudah diucap yaitu Selat.
Kehadiran pertama modifikasi makanan khas Eropa ini yang disesuaikan dengan lidah masyarakat Jawa Tengah yaitu saat benteng Vastenburg yang berada di depan gapura keraton Surakarta dibangun.
Pada setiap pertemuan antara pihak Belanda dengan pihak keratonan, selalu ada hidangan yang disajikan sesuai dengan selera tamu yang hadir. Dari pihak Belanda meminta hidangan utama daging, sementara Raja Surakarta pada masa itu menyukai sayur. Maka dibuatlah sajian yang merupakan kolaborasi atau gabungan antara selera pihak Belanda dengan Keraton Surakarta yaitu sajian Daging dengan banyak Sayur. Dan hadirlah kuliner yang khas Solo ini yaitu Selat solo.

Pengalaman Makan Selat Solo di Tenda Biru Solo
Sebenarnya pengalaman pertama makan Selat Solo di kota Solo ini cukup memorable. Tapi, alasan saya bisa sampai ke Solo ini memang bukan kisah yang menyenangkan, lebih ke menyedihkan.
Oleh karena kabar yang saya terima usai sholat Subuh, terkait kakak Sepupu yang merupakan cucu pertama di struktur keluarga dari Bapak allahuyarham meninggal dunia. Saya dan keluarga beserta adik dan keponakan, berangkat langsung menuju Solo usai sholat Subuh.
Waktu itu, perjalanan cukup lancar dan tidak ada halangan. Kami sampai cukup cepat sekitar jam 12-an siang. Namun, saat kami sampai, kami tidak bisa langsung ke rumah kakak sepupu. Melainkan harus menunggu rombongan keluarga lainnya yang masih di perjalanan.
Saya dan keluarga memutuskan untuk melaksanakan sholat di masjid terdekat. Kemudian, mencari tempat makan yang dekat dengan lokasi rumah.
Alhamdulillah, saat melintas beberapa jalan di kota Solo, langsung melihat ada tempat makan Tenda Biru ini. Kami langsung saja bergegas parkir dan turun untuk memesan makanan. Soalnya, belum sempat sarapan juga, jadi rasa laparnya sudah terlalu membuncah, hehe.
Nah, momen inilah pertama kalinya saya makan Selat Solo di kota Solo. Juga pertama kalinya adik - adik dan keponakan saya mengenal kuliner bernama Selat Solo ini.

Pengalaman Kedua Mampir ke Tenda Biru
Saat kunjungan saya dan adik-adik ke Solot waktu itu, Pak Su tidak bisa ikut serta karena harus bekerja dan tidak bisa ditinggal. Karena itu, saya punya keinginan untuk mengajak pak Suami makan Selat Solo di Tenda Biru.
Rencana ini bahkan sudah beberapa kali kami buat, seperti pengalaman waktu perjalanan gabut Bekasi - Malang yang sudah saya tulis sebelumnya. Tempat makan Tenda Biru ini sudah beberapa kali saya sebut setiap berbincang terkait kota solo.
Alhamdulillah, bulan Agustus kemarin kami bisa menyempatkan untuk mampir makan malam di Selat Solo Tenda Biru.
Tentunya, pengalaman bisa makan malam Selat Solo di Kota Solo bareng pak Suami ini menjadi momen terbaik dan selalu saya syukuri. Apalagi, saat itu suasana di tempat makan tidak terlalu ramai.
Di tempat makan Tenda Biru kami tidak hanya memesan Selat Solo. Kami juga memesan Sup Matahari yang sayangnya tidak sempat terfoto dengan baik.
Jujur, waktu datang Sup Matahari, saya cukup kaget karena rasa kuah sup-nya benar-benar menghangatkan tubuh. Kombinasi antara kuah kaldu dan rempahnya bercampur dengan lembut di lidah. Tidak terlalu berlebihan aroma dan rasa rempahnya. Yang ada justru terasa hangat dan menyegarkan tubuh.
Selain kuahnya, keunikan dari Sup Matahari yang baru saya tahu ini adalah sajian telur dadar yang di dalamnya terdapat beberapa isian. Ada soun juga ada bahan lain seperti jamur kuping dan wortel serta daging. Bentuk telur dadarnya cukup tebal dan setiap sisinya berbeda isinya. Rasanya telur yang gurih sangat cocok dan sesuai bercampur kuah yang hangat dan segar.
Untuk harganya, buat saya pribadi terbilang cukup murah dan terjangkau. Tempat makannya sendiri terdapat fasilitas mushola yang bersih, tempat wudhu outdoor yang cukup serta toilet yang airnya bersih. Sementara parkirannya sebenarnya cukup kalau sedang tidak ramai sekali.
Tak perlu khawatir mengenai parkir kendaraan mobil di sini, sebab ada banyak petugas parkir yang akan membantu mengatur kendaraan di sini.
Di Tenda Biru ini juga menerima pembayaran menggunakan QRIS, jadi tidak perlu khawatir kalau belum membawa uang tunai.
Penutup
Alhamdulillah, bulan Agustus selain bisa mewujudkan ingin makan Bebek Sinjay yang asli di Madura. Terwujud juga keinginan makan Selat Solo di kota Solo bersama pasangan halal.
Selain Selat Solo terus Sup Matahari, kira-kira makanan khas Solo apa lagi ya yang bisa dicoba?
Lokasi Selat Solo Tenda Biru
Tags:
Kuliner